1.
Berdirinya RRC
|
Setelah
Perang Dunia II, Perang Saudara Tiongkok antara Partai Komunis Tiongkok dan
Partai Nasionalis Kuomintang berakhir pada 1949 dengan pihak komunis menguasai
Tiongkok Daratan dan Kuomintang mengundurkan diri ke pulau Taiwan dan beberapa
pulau-pulau lepas pantai di Fujian.
Pada 1 Oktober 1949, Mao Zedong
memproklamasikan Republik Rakyat Tiongkok dan mendirikan sebuah negara komunis,
namun tidak mencoba untuk menguasai pulau Taiwan.
Mao Zedong memproklamirkan
Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949
|
Para
pendukung kebijakan Maoisme mengatakan bahwa di bawah Mao, persatuan dan
kedaulatan Tiongkok dapat dipastikan untuk pertama kalinya dalam beberapa
dekade terakhir, dan terdapat perkembangan infrastruktur, industri, kesehatan,
dan pendidikan, yang mereka percayai telah membantu meningkatkan standar hidup
rakyat. Mereka juga yakin bahwa kampanye seperti Lompatan Jauh ke Depan dan
Revolusi Kebudayaan penting dalam mempercepat perkembangan Tiongkok dan
menjernihkan kebudayaan mereka. Pihak pendukung juga ragu terhadap statistik
dan kesaksian yang diberikan mengenai jumlah korban jiwa dan kerusakan lainnya
yang disebabkan kampanye Mao. Mereka mengatakan bahwa kelaparan ini disebabkan
musibah alam; ada juga yang meragukan jumlah kematian akibat kelaparan
tersebut, atau berkata bahwa lebih banyak orang mati karena kelaparan atau
sebab politis lainnya pada masa pemerintahan Chiang Kai Shek (1928-1949).
Meskipun
begitu, para kritikus kebijakan Mao mengatakan bahwa pemerintahan Mao
membebankan pengawasan yang ketat terhadap kehidupan sehari-hari rakyat, dan
yakin bahwa kampanye seperti Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan
berperan atau mengakibatkan hilangnya jutaan jiwa, mendatangkan biaya ekonomi
yang besar, dan merusak warisan budaya Tiongkok. Lompatan Jauh ke Depan, pada
khususnya, mendahului periode kelaparan yang besar di Tiongkok yang, menurut
sumber-sumber Barat dan Timur yang dapat dipercaya, mengakibatkan kematian 45
juta orang dalam waktu 4 tahun
Mao dan Nikita Kruschev menjadi musuh ideologi |
Perpecahan
Tiongkok-Soviet adalah memburuknya hubungan antara Republik Rakyat Cina (RRC) dengan Uni Soviet selama Perang Dingin. Penyimpangan mulai tumbuh antara
kedua negara dari sekitar tahun 1956, namun secara rahasia. Dari tahun 1961,
komunis Tiongkok secara terbuka menyatakan Uni Soviet sebagai "The
Revisionist Traitor Group of Soviet Leadership", dan perpecahan Sino-Soviet mulai terjadi. Konfrontasi mencapai puncaknya pada akhir tahun
1960-an dan berlanjut hingga akhir tahun 1980-an dengan runtuhnya Uni Soviet.
Perpecahan ini menyebabkan pecahnya gerakan komunis internasional.
Setelah kegagalan
ekonomi yang dramatis pada awal 1960-an, Mao mundur dari jabatannya sebagai
ketua umum Tiongkok. Kongres Rakyat Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai
pengganti Mao. Mao tetap menjadi ketua partai namun dilepas dari tugas ekonomi
sehari-hari yang dikontrol dengan lebih lunak oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping
dan lainnya yang memulai reformasi keuangan.
2.
Revolusi Kebudayaan
Sebuah propaganda revolusi kebudayaan |
Revolusi
Kebudayaan adalah revolusi besar yang terjadi di Cina antara tahun 1966 dan
1969. revolusi Kebudayaan merupakan revolusi di segala bidang untuk
mengembalikan Cina kepada ajaran Maoisme yang dirasakan semakin lama semakin
luntur karena digerogoti anasir-anasir Barat. Revolusi ini digerakkan oleh Mao Zedong sebagai puncak perseteruannya dengan pejabat Presiden Liu Shaoqi dan
kelompoknya yang dituduh beraliran kanan, mendukung intelektualisme dan
kapitalisme. Revolusi ini ditandai dengan dibentuknya Pengawal Merah, sebuah
unit paramiliter yang mayoritas anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswa yang
mendukung Mao dan ajaran-ajaranya.
Revolusi
Kebudayaan sesungguhnya merupakan reaksi atas kegagalan pelaksanaan kebijakan
Lompat Jauh ke Depan, yang dicanangkan Mao Tse Tung pada awal 1958. Setelah
kegagalan ekonomi yang dramatis tersebut, Mao mundur dari jabatannya sebagai
Presiden Cina. Kongres Rakyat Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai pengganti
Mao. Mao tetap menjadi Ketua Partai Komunis, namun dilepas dari tugas ekonomi
sehari-hari yang dikontrol dengan lebih lunak oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping
dan lainnya yang memulai reformasi keuangan.
Liu Shaoqi
sebagai Presiden Cina, diberikan tugas untuk melakukan pemulihan dan
penyesuaian kembali keadaan perekonomian negara dari krisis besar dan kekacauan
parah yang menimpa Cina akibat gerakan Lompat Jauh ke Depan. Liu mendapat tugas
menstabilkan lagi perekonomian, setidaknya seperti keadaan Pelita I dijalankan,
sehingga upaya untuk mewujudkan pembangunan Cina ke arah yang lebih baik dapat
segera dilaksanakan.
Dalam
kebijakan pembangunan barunya, Liu dan para pelaksana lainya meninggalkan
sebagian besar ciri-ciri Lompat Jauh ke Depan dan sebagian kembali pada sistem
Pelita I. Penggunaan intensif material ditolerir lagi dan diarahkan untuk
meningkatkan kegiatan usaha atau produktifitas kerja pendududuk, meskipun tidak
sepenuhnya meniru pembangunan di Uni Sovyet. Para ahli, teknisi dan cendekiawan
diakui perananya dalam memberikan sumbangan pemikiran dan mengembangkan
gagsan-gagsan yang rasional serta jelas dalam revolusi ini. Mereka kemudian
mendapatkan kedudukanya kembali dalam masyarakat.
Banyak usaha
industri yang primitif dan yang kurang dirasakan manfaatnya dalam Lompat Jauh
ke Depan, ditinggalkan dan dialihkan ke bentuk industri lain yang lebih
bermanfaat. Organisasi Komune Rakyat tetap dipertahankan, tetapi sifatnya yang
ekstrim dihilangkan dan disusun lebih terencana, terarah dan terstruktur
sistematis mekanisme organisasinya, dengan pole pengelolaan yang baik. Suatu
kebijaksanaan pembangunan yang mendahulukan sektor pertanian, ditegaskan dan
sekaligus mengakui kerusakan berat yang dihadapi sektor ini dalam masa Lompat
Jauh ke Depan.
Pemerintah
menyatakan bahwa sektor pertanian perlu dijadikan basis untuk menggerakan
program industrialisasi di masa yang akan datang. Sedangkan sektor industri
diarahkan secara umum untuk membantu pembangunan sektor pertanian. Perencanaan
disusun atas dasar tahunan, dimana terdapat desentralisasi administrasi
perekonomian yang cukup besar pada tingkat propinsi dan lokal. Sementara kegiatan
swasta kecil-kecilan sebagai cerminan dari daya kreatifitas anggota masyarakat
yang dalam Pelita I telah memperlihatkan perkembangan positif dalam pertumbuhan
ekonomi negara akan diperkenankan kembali.
Pada masa
Pemulihan dan Penyesuaian Kembali (1961-1965) ini, Liu Shaoqi berusaha
menanamkan aliran liberalisme dalam perencanaan-perencanaan pembangunan demi
perbaikan sistem ekonomi sosialis Cina. Oleh karena itu di daerah pedesaan
diberikan kelonggaran terhadap pelaksanaan sistem kolektifitas dan sistem
ekonomi tanpa pasar yang autokratis. Gagasan tersebut diperluas dan
dikembangkan dengan sistem pertanian dalam skala kecil; penggarapan tanah-tanah
milik individu; perdagangan dalm pasar bebas, walaupun dalam skala kecil yang
terbatas dan berbeda dengan di negara-negara kapitalis; serta pemberian
kesempatan kepada perusahaan-perusahaan kecil yang berbasis pada rumah tangga
perseorangan, termasuk dalam hal menanggung untung-rugi. Selain itu, Liu juga
mempropagandakan kebebasan untuk menerapkan sistem kredit bunga, mempekerjakan
kaum buruh, menjual tanah dan menyelenggarakan perusahaan perseorangan.
Revolusi Kebudayaan menyebabkan adanya kerja paksa dan penganiayaan |
Pada 1966 Mao
meluncurkan Revolusi Kebudayaan, yang dilihat lawannya (termasuk analis Barat
dan banyak remaja Cina kala itu) sebagai balasan terhadap rival-rivalnya dengan
memobilisasi para remaja untuk mendukung pemikirannya dan menyingkirkan
kepemimpinan yang lunak pada saat itu, namun oleh pendukungnya dipandang
sebagai sebuah percobaan demokrasi langsung dan sebuah langkah asli dalam
menghilangkan korupsi dan pengaruh buruk lainnya dari masyarakat Cina.
Revolusi
Kebudayaan merupakan kelanjutan dari adu kekuatan antara aliran dogmatisme
dengan pragmatisme. Dalam suasana yang sangat mencekam bagi para penganut
aliran pragmatisme itu, Majalah Tentara Pembebasan Rakyat terbitan Shanghai
edisi November 1965 melancarkan kritik terhadap suatu seni drama karangan Wu
Han yang berjudul ”Han Rui dipecat dari jabatanya”. Cerita tentang pemecatan
terhadap Han Rui adalah suatu sindiran terhadap pemecatan Marsekal Peng De Huai
pada tahun 1956. Karya tulisan yang dipentaskan tersebut dinilai
destruktif karena dapat mempengaruhi
masyarakat untuk menyimpulkan bahwa kebijaksanaan Mao Tse Tung terhadap Peng De
Huai adalah suatu kesalahan. Sejak itu semua orang yang membela Wu Han
dikenakan kritik sebagai revisionis dan oportunis kanan, termasuk para pejabat
di lingkungan pemerintahan Beijing karena saat itu Wu Han menjabat sebagai
Wakil Walikota Beijing.
Bulan Juni
1966, PKC menyerukan kepada para mahasiswa untuk memobilisasi rakyat massa guna
digerakan memberantas seni budaya yang ingin merubah diktatur proletar menjadi
kepemimpinan borjuis. Para pelajar dan mahasiswa kemudian digerakan untuk
melancarkan kritik terhadap anasir-anasir yang dinilai ”anti-partai dan
anti-rakyat”, seperti: Presiden Cina, Liu shaoqi; Sekjen PKC, Deng Xiaoping;
Kepala Staf Tentara Pembebasan Rakyat, Lo Rui Qing. Kemudian para mahasiswa
turun ke jalan dengan mengenakan pita di lengan bertuliskan ”Pengawal Merah”.
Gerakan Pengawal Merah ini dari hari ke hari semakin brutal dengan melakukan
pengrusakan terhadap pelbagai kantor pemerintah, fasilitas umum, selain
melakukan teror dan penangkapan terhadap lawan-lawan politik Mao Zedong.
Mao Zedong mempunyai konsep kerja tersendiri untuk menjelaskan ekonomi-politik pembangunan
sosialis. Ia tidak hanya menemukan kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat,
tetapi juga mencoba mengungkapkan apa yang disebut dengan ”teori penentuan
waktu”. Dalam teorinya ini, ia menggariskan setiap tahap pembangunan sosialis dengan
tingkat perkembangan tertentu dari kekuatan produksi dan hasil produksi.
Menurutnya, kebijakan-kebijakan pembangunan yang dibuat harus cocok dengan
tahap pembangunan sosialis yang ada.
Dalam pemikiran Mao, setiap tahap
pembangunan sosialis dibatasi oleh suatu revolusi yang mungkin membutuhkan
perang saudara, yang tergantung apakah revolusi tersebut menyangkut perebutan
kekuasaan oleh suatu kelas dari kelas lain. Lebih jauh dijelaskan bahwa, secara
historis revolusi pada mulanya terjadi dalam suprastruktur. Lalu, setelah
terjadi penghancuran suprastruktur yang lama dan perebutan kekuasaan, hubungan
produksi yang lama dapat dihapuskan dan hubungan produksi yang baru dapt
dibangun, sehingga tercipta keadaan baru untuk pembangunan kekuatan produksi.
Dalam pengembangan pemikiranya mengenai revolusi sosialis, Mao menyatakan bahwa
revolusi besar pada suprastruktur akan mencetuskan revolusi kecil lainya.
Perkembangan
Cina di awal tahun 1960-an, dalam pandangan Mao Tse Tung dinilai telah
menumbuhkan kegiatan ideologi yang ia sebut sebagai langkah revisionisme.
Karena berbagai kegiatan revisionisme yang dimaksud menguasai jaringan
administrasi pemerintahan, tatanan partai , organisasi militer dan struktur
manajemen perusahaan. Untuk menentang arus revisionisme yang semakn besar di
bidang-bidang tersebut, Mao menyebarkan semangat anti-revisionisme melalui
suatu Revolusi Kebudayaan. Sebuah revolusi yang mendapat dukungan penuh dari
tiga aliansi antara kaum buruh, kader-kader revolusioner dan Tentara Pembebasan
Rakyat. Sebelumnya, dalam program kerja Gerakan Pendidikan Sosialis, Mao telah
menekankan perlunya dilakukan lagi perjuangan kelas dalam masyarakat, untuk
menanggapi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan munculnya kembali
hubungan-hubungan produksi yang berbau kapitalis di pedesaan dan perkembangan
birokrasi partai yang mengkawatirkan.
Menurut Mao, pendirian ideologi
dan prestasi politik rakyat harus diperbaiki, untuk mecegah matinya semangat
revolusioner dan hidup kembalinya kapitalisme akibat diadakanya Program
Pemulihan dan Penyesuaian Kembali ekonomi Cina pasca Lompat Jauh ke Depan.
Perbaikan ini juga perlu megingat semakin besarnya kesangsian massa terhadap
kesetiaan kader-kader partai terhadap mereka. Oleh karena itu, bagi Mao
organisasi-organisasi tingkat bawah, terutama massa itu sendiri perlu diberikan
wewenang untuk mengawasi partai.
Di bidang
pendidikan, Revolusi Kebudayaan diarahkan untuk mengkombinasikan dan
menyerasikan perkembangan ekonomi dengan revolusi sosial, dalam upaya
menciptakan kondisi dimana mayoritas rakyat, khususnya kelompok-kelompok
kultural yang tertindas, tidak lagi tergantung pada kekuasaan elit teknokrasi
yang mengabdi pada kepentingan sendiri, dan tidak lagi berada dalam lingkungan
dominasi kekuasaanya. Usaha ini dilakukan dengan intensifikasi pendidikan ideologi,
agar kesadaran politik para pelajar dan mahasiswa meningkat, teori dan praktik
dalam sistem pendidikan terintegrasi, sistem pendidikan menjadi lebih respinsif
terhadap kebutuhan langsung produksi di daerah pedesaan, dan sistem pendidikan
berkembang merakyat di daerah pedesaan.
Situasi Revolusi Kebudayaan (1966-1976) |
Dalam periode
Revolusi Kebudayaan, pemujaan terhadap Ketua Partai ditingkatkan, dimana
pikiran-pikiran Mao yang dikumpulkan untuk konsumsi masyarakat banyak dalam
sebuah Buku Merah Kecil (Little Red Book), dinilai memberi jawaban atas setiap
permasalahan yang mereka hadapi. Nilai-nilai revolusioner dihidupkan dan
diutamakan kembali, dengan menekankan mobilisasi massa, pengawasan normatif dan
pengurangan intensif material. Para birokrat, teknokrat dan cendekiawan yang
dianggap sebagai lapisan kelas baru, digantikan parananya oleh Komite-komite
Revolusioner, yang mementingkan ideologi, semangat massa dan kekuatan kemauan
manusiawi. Suatu hal yang penting, pada saat itu Mao mengadakan Gerakan
Pemindahan ke Daerah Pedalaman, yang memindahkan secara paksa 20 juta orang
penduduk dari kota-kota ke desa-desa, dalam rangka menerapkan program belajar
dari kaum petani.
Beberapa
masalah timbul dari kebijakan pembangunan Mao selama Revolusi Kebudayaan. Sebab
bagaimana mungkin keinginan untuk menerjunkan kaum buruh agar berpartisipasi
dalam tugas-tugas administrasi, dan sebaliknya menerjunkan para kader
politiknya untuk berpartisipasi dalam pekerjaan buruh, dapat diharapkan
keberhasilanya dalam waktu singkat. Harus diingat bahwa hal itu memerlukan
waktu penyesuaian, karena sebelumnya kaum buruh telah terbiasa dengan pekerjaan
di lapangan yang sifatnya kasar, serta asing sekali dengan pekerjaan
administratif. Sedangkan para kader politik justru telah terbiasa dengan
tugas-tugas organisasi dan administratif, masih asing dengan
pekerjaan-pekerjaan buruh.
Konsep yi gai,
yaitu partisipasi massa yang tinggi dalam setiap kegiatan produksi, masih lebih
mungkin direalisasi. Tetapi hal ini harus dibedakan dengan pengertian
mobilisasi, dengan diikuti oleh pengontrolan yang ketat. Dalam kenyataanya,
yang muncul di Cina selama Revolusi Kebudayaan lebih mendekati pada pengertian
mobilisasi massa. Sementara itu aliansi buruh-kader-teknisi ada kesan sengaja
diciptakan Mao sebagai basis kekuatan untuk menghadapi kekuatan
kontra-revolusioner yang memperoleh dukungan kuat dari para birokrat dan
buruh-buruh industri.
Dalam hal
lain, pembangunan sistem pendidikan tidak bissa dilepaskan dari keinginan Mao
untuk melanggengkan kharismanya dalam kepemimpinan politik Cina. Tujuan
meningkatkan kesadaran politik para pelajar dan mahasiswa, mengintegrasikan
teori dan praktik dalam pendidikan, serta merakyatkan pendidikan merupakan
keinginan yang terlalu dipaksakan. Sebab akan timbul pertanyaan, bagaimana
mungkin semua hal itu bisa terwujud, apabila pusat-pusat pendidikan ditutup,
kaum intelektual disingkirkan, dan tindakan Mao yang sangat diktatorial.
Disadari,
Revolusi Kebudayaan adalah sesuatu yamg sangat kompleks. Berkaitan dengan teori
penentuan waktu dan diktum revolusi permanen, maka Revolusi Kebudayaan
merupakan revolusi yang berlangsung dalam konteks perjuangan kelas yang
berkesinambungan pada suprastruktur, ketika keadaan obyektif yang terbentuk berdasarkan
kontradiksi-kontradiksi di dalam masyarakat, membuatnya perlu. Oleh karena itu,
revolusi ini dilancarkan Mao untuk mengeliminasi para pimpinan nasional yang
bertentangan denganya dalam percaturan politik Cina, agar pembangunan sosialis
dapat diarahkan sesuai dengan konsepsi pemikiranya.
Dengan
menggunakan kaum muda, kader-kader partai yang setia kepadanya dan orang-orang
yang direkrut dari golongan militer, Mao melakukan tindkan pembersihan terhadap
Liu dan kawan-kawan. Liu Shaoqi, Presiden Cina, kemudian mengalami perlakuan
buruk dan mati dalam keadaan menyedihkan. Deng Xiao Ping, sekjen PKC,
diasingkan dalam pembuangan di Jiangxi. Ia juga mendapat perlakuan buruk selama
dalam pengasingan, seperti seorang pekerja rodi. Sedangkan Peng Dehuai, bekas
Menhankam Cina, menghadapi penyiksaan berat dan mati dalam keadaan setengah
lumpuh. Sejarahwan Wu Han sendiri mengalami nasib seperti Hai Rui dalam
tulisanya, bahkan tidak hanya kehilangan kedudukan, ia juga mati mengenaskan.
Selain itu,
Mao juga ”melepaskan” Pengawal Merah, yang terdiri dari tentara dan kaum milisia, dan menggerakan jutaan pemuda untuk
membinasakan apapun dan siapapun yang dikategorikan sebagai sebagai segala
sesuatu yang berbau kapitalis dan bertentangan dengan pendirian revolusionernya
dalam kebijakan pembangunan Cina. Mereka, orang-orang yang berperang dalam
kemajuan pembangunan dan mempunyai sumbangan pemikiran yang tidak sedikit,
seperti kaum cendekiawan, seniman dan tenaga-tenaga profesional, menjadi korban
berikutnya dari aksi kekerasan Mao. Sementara Jiang Qing, Zhang Chung Qiao,
Wang Hu Wen dan Yao Wen Yuan (Empat Serangkai) yang berada di belakang Mao,
memperbesar jumlah korban yang haerus dibinasakan, dengan memasukan dalam
kategori-kategori baru, siapa saja yang masih termasuk musuh, pengkhianat dan
para pengikut kapitalis.
Berdasarkan
data yang diperoleh, antara 250.000 sampai 500.000 jiwa rakyat tewas selama
Revolusi Kebudayaan ini. Sedangkan jutaan rakyat lainya mengalami penderitaan
fisik dan psikis akibat dikirim ke kamp-kamp kerja paksa dan diteror, serta
dikejar-kejar oleh gerombolan-gerombolan orang yang diatur sebagai ”massa yang
marah” dalam berbagai bentuk kampanye mobilisasi, restorasi pemikiran,
re-edukasi dan rekonstruksi pribadi sosialis yang baru. Keadaan ini berlangsung
selam sepuluh tahun memporak-porandakan seluruh negeri dan menyengsarakan lebih
dari 100 juta rakyat Cina.
Pengaruh
Revolusi Kebudayaan terhadap perekonomian nasional sangatlah besar. Produksi
sektor industri merosot di tahun 1967 dan baru pulih kembali pada tahun 1969,
meskipun sektor pertanian hanya mengalami sedikit kerugian. Selama sepuluh
tahun kekacauan berlangsung, terjadi kerusakan diri atas kaum muda karena
banyak sekolah ditutup. Pada sekolah-sekolah yang masih dibuka, kurikulum
sangat disederhanakan dan sistem ujian dihapus, sehingga mutu pendidikan
merosot. Akibat adanya pengiriman anak-anak usia sekolah dari kota ke daerah
pedesaan untuk bertani, tercatat tidak kurang dari 100 juta anak muda kembali
menjadi buta huruf, disamping banyak lowongan kerja yang diisi oleh tenaga-tenaga
yang tidak ahli. Korban jiwa, kemunduran pendidikan, kehancuran seni dan
peradaban, kebangkrutan pabrik-pabrik, adalah berbagai akibat yang dihasilkan
Revolusi Kebudayaan.
Dari segi
pemerataan, kebijakan-kebijakan pembangunan Mao, menghasilkan prestasi yang
mengagumkan. Dalam hal itu hasil yang diraih Cina lebih baik dibandingkan
negara-negara sedang berkembang pada umumnya. Keunggulan tersebut harus diakui,
walaupun dari segi kesejahteraan hidup penduduk, kondisi Cina masih jauh dari
yang diharapkan.