Sabtu, 09 Januari 2016

Berdirinya Republik Rakyat Cina Hingga Revolusi Kebudayaan



1.       Berdirinya RRC



Bendera Republik Rakyat Cina







Setelah Perang Dunia II, Perang Saudara Tiongkok antara Partai Komunis Tiongkok dan Partai Nasionalis Kuomintang berakhir pada 1949 dengan pihak komunis menguasai Tiongkok Daratan dan Kuomintang mengundurkan diri ke pulau Taiwan dan beberapa pulau-pulau lepas pantai di Fujian.

Mao Zedong memproklamirkan
Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949
Pada 1 Oktober 1949, Mao Zedong memproklamasikan Republik Rakyat Tiongkok dan mendirikan sebuah negara komunis, namun tidak mencoba untuk menguasai pulau Taiwan.
Para pendukung kebijakan Maoisme mengatakan bahwa di bawah Mao, persatuan dan kedaulatan Tiongkok dapat dipastikan untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade terakhir, dan terdapat perkembangan infrastruktur, industri, kesehatan, dan pendidikan, yang mereka percayai telah membantu meningkatkan standar hidup rakyat. Mereka juga yakin bahwa kampanye seperti Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan penting dalam mempercepat perkembangan Tiongkok dan menjernihkan kebudayaan mereka. Pihak pendukung juga ragu terhadap statistik dan kesaksian yang diberikan mengenai jumlah korban jiwa dan kerusakan lainnya yang disebabkan kampanye Mao. Mereka mengatakan bahwa kelaparan ini disebabkan musibah alam; ada juga yang meragukan jumlah kematian akibat kelaparan tersebut, atau berkata bahwa lebih banyak orang mati karena kelaparan atau sebab politis lainnya pada masa pemerintahan Chiang Kai Shek (1928-1949).
Meskipun begitu, para kritikus kebijakan Mao mengatakan bahwa pemerintahan Mao membebankan pengawasan yang ketat terhadap kehidupan sehari-hari rakyat, dan yakin bahwa kampanye seperti Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan berperan atau mengakibatkan hilangnya jutaan jiwa, mendatangkan biaya ekonomi yang besar, dan merusak warisan budaya Tiongkok. Lompatan Jauh ke Depan, pada khususnya, mendahului periode kelaparan yang besar di Tiongkok yang, menurut sumber-sumber Barat dan Timur yang dapat dipercaya, mengakibatkan kematian 45 juta orang dalam waktu 4 tahun
Mao dan Nikita Kruschev menjadi musuh ideologi
Perpecahan Tiongkok-Soviet adalah memburuknya hubungan antara Republik Rakyat Cina (RRC) dengan Uni Soviet selama Perang Dingin. Penyimpangan mulai tumbuh antara kedua negara dari sekitar tahun 1956, namun secara rahasia. Dari tahun 1961, komunis Tiongkok secara terbuka menyatakan Uni Soviet sebagai "The Revisionist Traitor Group of Soviet Leadership", dan perpecahan Sino-Soviet mulai terjadi. Konfrontasi mencapai puncaknya pada akhir tahun 1960-an dan berlanjut hingga akhir tahun 1980-an dengan runtuhnya Uni Soviet. Perpecahan ini menyebabkan pecahnya gerakan komunis internasional.
Setelah kegagalan ekonomi yang dramatis pada awal 1960-an, Mao mundur dari jabatannya sebagai ketua umum Tiongkok. Kongres Rakyat Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai pengganti Mao. Mao tetap menjadi ketua partai namun dilepas dari tugas ekonomi sehari-hari yang dikontrol dengan lebih lunak oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping dan lainnya yang memulai reformasi keuangan.


2.       Revolusi Kebudayaan
Sebuah propaganda revolusi kebudayaan


Revolusi Kebudayaan adalah revolusi besar yang terjadi di Cina antara tahun 1966 dan 1969. revolusi Kebudayaan merupakan revolusi di segala bidang untuk mengembalikan Cina kepada ajaran Maoisme yang dirasakan semakin lama semakin luntur karena digerogoti anasir-anasir Barat. Revolusi ini digerakkan oleh Mao Zedong sebagai puncak perseteruannya dengan pejabat Presiden Liu Shaoqi dan kelompoknya yang dituduh beraliran kanan, mendukung intelektualisme dan kapitalisme. Revolusi ini ditandai dengan dibentuknya Pengawal Merah, sebuah unit paramiliter yang mayoritas anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswa yang mendukung Mao dan ajaran-ajaranya.
Revolusi Kebudayaan sesungguhnya merupakan reaksi atas kegagalan pelaksanaan kebijakan Lompat Jauh ke Depan, yang dicanangkan Mao Tse Tung pada awal 1958. Setelah kegagalan ekonomi yang dramatis tersebut, Mao mundur dari jabatannya sebagai Presiden Cina. Kongres Rakyat Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai pengganti Mao. Mao tetap menjadi Ketua Partai Komunis, namun dilepas dari tugas ekonomi sehari-hari yang dikontrol dengan lebih lunak oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping dan lainnya yang memulai reformasi keuangan.
Liu Shaoqi sebagai Presiden Cina, diberikan tugas untuk melakukan pemulihan dan penyesuaian kembali keadaan perekonomian negara dari krisis besar dan kekacauan parah yang menimpa Cina akibat gerakan Lompat Jauh ke Depan. Liu mendapat tugas menstabilkan lagi perekonomian, setidaknya seperti keadaan Pelita I dijalankan, sehingga upaya untuk mewujudkan pembangunan Cina ke arah yang lebih baik dapat segera dilaksanakan.
Dalam kebijakan pembangunan barunya, Liu dan para pelaksana lainya meninggalkan sebagian besar ciri-ciri Lompat Jauh ke Depan dan sebagian kembali pada sistem Pelita I. Penggunaan intensif material ditolerir lagi dan diarahkan untuk meningkatkan kegiatan usaha atau produktifitas kerja pendududuk, meskipun tidak sepenuhnya meniru pembangunan di Uni Sovyet. Para ahli, teknisi dan cendekiawan diakui perananya dalam memberikan sumbangan pemikiran dan mengembangkan gagsan-gagsan yang rasional serta jelas dalam revolusi ini. Mereka kemudian mendapatkan kedudukanya kembali dalam masyarakat.
Banyak usaha industri yang primitif dan yang kurang dirasakan manfaatnya dalam Lompat Jauh ke Depan, ditinggalkan dan dialihkan ke bentuk industri lain yang lebih bermanfaat. Organisasi Komune Rakyat tetap dipertahankan, tetapi sifatnya yang ekstrim dihilangkan dan disusun lebih terencana, terarah dan terstruktur sistematis mekanisme organisasinya, dengan pole pengelolaan yang baik. Suatu kebijaksanaan pembangunan yang mendahulukan sektor pertanian, ditegaskan dan sekaligus mengakui kerusakan berat yang dihadapi sektor ini dalam masa Lompat Jauh ke Depan.
Pemerintah menyatakan bahwa sektor pertanian perlu dijadikan basis untuk menggerakan program industrialisasi di masa yang akan datang. Sedangkan sektor industri diarahkan secara umum untuk membantu pembangunan sektor pertanian. Perencanaan disusun atas dasar tahunan, dimana terdapat desentralisasi administrasi perekonomian yang cukup besar pada tingkat propinsi dan lokal. Sementara kegiatan swasta kecil-kecilan sebagai cerminan dari daya kreatifitas anggota masyarakat yang dalam Pelita I telah memperlihatkan perkembangan positif dalam pertumbuhan ekonomi negara akan diperkenankan kembali.
Pada masa Pemulihan dan Penyesuaian Kembali (1961-1965) ini, Liu Shaoqi berusaha menanamkan aliran liberalisme dalam perencanaan-perencanaan pembangunan demi perbaikan sistem ekonomi sosialis Cina. Oleh karena itu di daerah pedesaan diberikan kelonggaran terhadap pelaksanaan sistem kolektifitas dan sistem ekonomi tanpa pasar yang autokratis. Gagasan tersebut diperluas dan dikembangkan dengan sistem pertanian dalam skala kecil; penggarapan tanah-tanah milik individu; perdagangan dalm pasar bebas, walaupun dalam skala kecil yang terbatas dan berbeda dengan di negara-negara kapitalis; serta pemberian kesempatan kepada perusahaan-perusahaan kecil yang berbasis pada rumah tangga perseorangan, termasuk dalam hal menanggung untung-rugi. Selain itu, Liu juga mempropagandakan kebebasan untuk menerapkan sistem kredit bunga, mempekerjakan kaum buruh, menjual tanah dan menyelenggarakan perusahaan perseorangan.
Revolusi Kebudayaan menyebabkan
adanya kerja paksa dan penganiayaan

Pada 1966 Mao meluncurkan Revolusi Kebudayaan, yang dilihat lawannya (termasuk analis Barat dan banyak remaja Cina kala itu) sebagai balasan terhadap rival-rivalnya dengan memobilisasi para remaja untuk mendukung pemikirannya dan menyingkirkan kepemimpinan yang lunak pada saat itu, namun oleh pendukungnya dipandang sebagai sebuah percobaan demokrasi langsung dan sebuah langkah asli dalam menghilangkan korupsi dan pengaruh buruk lainnya dari masyarakat Cina.
Revolusi Kebudayaan merupakan kelanjutan dari adu kekuatan antara aliran dogmatisme dengan pragmatisme. Dalam suasana yang sangat mencekam bagi para penganut aliran pragmatisme itu, Majalah Tentara Pembebasan Rakyat terbitan Shanghai edisi November 1965 melancarkan kritik terhadap suatu seni drama karangan Wu Han yang berjudul ”Han Rui dipecat dari jabatanya”. Cerita tentang pemecatan terhadap Han Rui adalah suatu sindiran terhadap pemecatan Marsekal Peng De Huai pada tahun 1956. Karya tulisan yang dipentaskan tersebut dinilai destruktif  karena dapat mempengaruhi masyarakat untuk menyimpulkan bahwa kebijaksanaan Mao Tse Tung terhadap Peng De Huai adalah suatu kesalahan. Sejak itu semua orang yang membela Wu Han dikenakan kritik sebagai revisionis dan oportunis kanan, termasuk para pejabat di lingkungan pemerintahan Beijing karena saat itu Wu Han menjabat sebagai Wakil Walikota Beijing.
Bulan Juni 1966, PKC menyerukan kepada para mahasiswa untuk memobilisasi rakyat massa guna digerakan memberantas seni budaya yang ingin merubah diktatur proletar menjadi kepemimpinan borjuis. Para pelajar dan mahasiswa kemudian digerakan untuk melancarkan kritik terhadap anasir-anasir yang dinilai ”anti-partai dan anti-rakyat”, seperti: Presiden Cina, Liu shaoqi; Sekjen PKC, Deng Xiaoping; Kepala Staf Tentara Pembebasan Rakyat, Lo Rui Qing. Kemudian para mahasiswa turun ke jalan dengan mengenakan pita di lengan bertuliskan ”Pengawal Merah”. Gerakan Pengawal Merah ini dari hari ke hari semakin brutal dengan melakukan pengrusakan terhadap pelbagai kantor pemerintah, fasilitas umum, selain melakukan teror dan penangkapan terhadap lawan-lawan politik Mao Zedong.
Mao Zedong mempunyai konsep kerja tersendiri untuk menjelaskan ekonomi-politik pembangunan sosialis. Ia tidak hanya menemukan kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat, tetapi juga mencoba mengungkapkan apa yang disebut dengan ”teori penentuan waktu”. Dalam teorinya ini, ia menggariskan setiap tahap pembangunan sosialis dengan tingkat perkembangan tertentu dari kekuatan produksi dan hasil produksi. Menurutnya, kebijakan-kebijakan pembangunan yang dibuat harus cocok dengan tahap pembangunan sosialis yang ada.
Dalam pemikiran Mao, setiap tahap pembangunan sosialis dibatasi oleh suatu revolusi yang mungkin membutuhkan perang saudara, yang tergantung apakah revolusi tersebut menyangkut perebutan kekuasaan oleh suatu kelas dari kelas lain. Lebih jauh dijelaskan bahwa, secara historis revolusi pada mulanya terjadi dalam suprastruktur. Lalu, setelah terjadi penghancuran suprastruktur yang lama dan perebutan kekuasaan, hubungan produksi yang lama dapat dihapuskan dan hubungan produksi yang baru dapt dibangun, sehingga tercipta keadaan baru untuk pembangunan kekuatan produksi. Dalam pengembangan pemikiranya mengenai revolusi sosialis, Mao menyatakan bahwa revolusi besar pada suprastruktur akan mencetuskan revolusi kecil lainya.
Perkembangan Cina di awal tahun 1960-an, dalam pandangan Mao Tse Tung dinilai telah menumbuhkan kegiatan ideologi yang ia sebut sebagai langkah revisionisme. Karena berbagai kegiatan revisionisme yang dimaksud menguasai jaringan administrasi pemerintahan, tatanan partai , organisasi militer dan struktur manajemen perusahaan. Untuk menentang arus revisionisme yang semakn besar di bidang-bidang tersebut, Mao menyebarkan semangat anti-revisionisme melalui suatu Revolusi Kebudayaan. Sebuah revolusi yang mendapat dukungan penuh dari tiga aliansi antara kaum buruh, kader-kader revolusioner dan Tentara Pembebasan Rakyat. Sebelumnya, dalam program kerja Gerakan Pendidikan Sosialis, Mao telah menekankan perlunya dilakukan lagi perjuangan kelas dalam masyarakat, untuk menanggapi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan munculnya kembali hubungan-hubungan produksi yang berbau kapitalis di pedesaan dan perkembangan birokrasi partai yang mengkawatirkan.
Menurut Mao, pendirian ideologi dan prestasi politik rakyat harus diperbaiki, untuk mecegah matinya semangat revolusioner dan hidup kembalinya kapitalisme akibat diadakanya Program Pemulihan dan Penyesuaian Kembali ekonomi Cina pasca Lompat Jauh ke Depan. Perbaikan ini juga perlu megingat semakin besarnya kesangsian massa terhadap kesetiaan kader-kader partai terhadap mereka. Oleh karena itu, bagi Mao organisasi-organisasi tingkat bawah, terutama massa itu sendiri perlu diberikan wewenang untuk mengawasi partai.


Di bidang pendidikan, Revolusi Kebudayaan diarahkan untuk mengkombinasikan dan menyerasikan perkembangan ekonomi dengan revolusi sosial, dalam upaya menciptakan kondisi dimana mayoritas rakyat, khususnya kelompok-kelompok kultural yang tertindas, tidak lagi tergantung pada kekuasaan elit teknokrasi yang mengabdi pada kepentingan sendiri, dan tidak lagi berada dalam lingkungan dominasi kekuasaanya. Usaha ini dilakukan dengan intensifikasi pendidikan ideologi, agar kesadaran politik para pelajar dan mahasiswa meningkat, teori dan praktik dalam sistem pendidikan terintegrasi, sistem pendidikan menjadi lebih respinsif terhadap kebutuhan langsung produksi di daerah pedesaan, dan sistem pendidikan berkembang merakyat di daerah pedesaan.

Situasi Revolusi Kebudayaan (1966-1976)

Dalam periode Revolusi Kebudayaan, pemujaan terhadap Ketua Partai ditingkatkan, dimana pikiran-pikiran Mao yang dikumpulkan untuk konsumsi masyarakat banyak dalam sebuah Buku Merah Kecil (Little Red Book), dinilai memberi jawaban atas setiap permasalahan yang mereka hadapi. Nilai-nilai revolusioner dihidupkan dan diutamakan kembali, dengan menekankan mobilisasi massa, pengawasan normatif dan pengurangan intensif material. Para birokrat, teknokrat dan cendekiawan yang dianggap sebagai lapisan kelas baru, digantikan parananya oleh Komite-komite Revolusioner, yang mementingkan ideologi, semangat massa dan kekuatan kemauan manusiawi. Suatu hal yang penting, pada saat itu Mao mengadakan Gerakan Pemindahan ke Daerah Pedalaman, yang memindahkan secara paksa 20 juta orang penduduk dari kota-kota ke desa-desa, dalam rangka menerapkan program belajar dari kaum petani.

Beberapa masalah timbul dari kebijakan pembangunan Mao selama Revolusi Kebudayaan. Sebab bagaimana mungkin keinginan untuk menerjunkan kaum buruh agar berpartisipasi dalam tugas-tugas administrasi, dan sebaliknya menerjunkan para kader politiknya untuk berpartisipasi dalam pekerjaan buruh, dapat diharapkan keberhasilanya dalam waktu singkat. Harus diingat bahwa hal itu memerlukan waktu penyesuaian, karena sebelumnya kaum buruh telah terbiasa dengan pekerjaan di lapangan yang sifatnya kasar, serta asing sekali dengan pekerjaan administratif. Sedangkan para kader politik justru telah terbiasa dengan tugas-tugas organisasi dan administratif, masih asing dengan pekerjaan-pekerjaan buruh.

Konsep yi gai, yaitu partisipasi massa yang tinggi dalam setiap kegiatan produksi, masih lebih mungkin direalisasi. Tetapi hal ini harus dibedakan dengan pengertian mobilisasi, dengan diikuti oleh pengontrolan yang ketat. Dalam kenyataanya, yang muncul di Cina selama Revolusi Kebudayaan lebih mendekati pada pengertian mobilisasi massa. Sementara itu aliansi buruh-kader-teknisi ada kesan sengaja diciptakan Mao sebagai basis kekuatan untuk menghadapi kekuatan kontra-revolusioner yang memperoleh dukungan kuat dari para birokrat dan buruh-buruh industri.

Dalam hal lain, pembangunan sistem pendidikan tidak bissa dilepaskan dari keinginan Mao untuk melanggengkan kharismanya dalam kepemimpinan politik Cina. Tujuan meningkatkan kesadaran politik para pelajar dan mahasiswa, mengintegrasikan teori dan praktik dalam pendidikan, serta merakyatkan pendidikan merupakan keinginan yang terlalu dipaksakan. Sebab akan timbul pertanyaan, bagaimana mungkin semua hal itu bisa terwujud, apabila pusat-pusat pendidikan ditutup, kaum intelektual disingkirkan, dan tindakan Mao yang sangat diktatorial.

Disadari, Revolusi Kebudayaan adalah sesuatu yamg sangat kompleks. Berkaitan dengan teori penentuan waktu dan diktum revolusi permanen, maka Revolusi Kebudayaan merupakan revolusi yang berlangsung dalam konteks perjuangan kelas yang berkesinambungan pada suprastruktur, ketika keadaan obyektif  yang terbentuk berdasarkan kontradiksi-kontradiksi di dalam masyarakat, membuatnya perlu. Oleh karena itu, revolusi ini dilancarkan Mao untuk mengeliminasi para pimpinan nasional yang bertentangan denganya dalam percaturan politik Cina, agar pembangunan sosialis dapat diarahkan sesuai dengan konsepsi pemikiranya.

Dengan menggunakan kaum muda, kader-kader partai yang setia kepadanya dan orang-orang yang direkrut dari golongan militer, Mao melakukan tindkan pembersihan terhadap Liu dan kawan-kawan. Liu Shaoqi, Presiden Cina, kemudian mengalami perlakuan buruk dan mati dalam keadaan menyedihkan. Deng Xiao Ping, sekjen PKC, diasingkan dalam pembuangan di Jiangxi. Ia juga mendapat perlakuan buruk selama dalam pengasingan, seperti seorang pekerja rodi. Sedangkan Peng Dehuai, bekas Menhankam Cina, menghadapi penyiksaan berat dan mati dalam keadaan setengah lumpuh. Sejarahwan Wu Han sendiri mengalami nasib seperti Hai Rui dalam tulisanya, bahkan tidak hanya kehilangan kedudukan, ia juga mati mengenaskan.

Selain itu, Mao juga ”melepaskan” Pengawal Merah, yang terdiri dari tentara dan kaum  milisia, dan menggerakan jutaan pemuda untuk membinasakan apapun dan siapapun yang dikategorikan sebagai sebagai segala sesuatu yang berbau kapitalis dan bertentangan dengan pendirian revolusionernya dalam kebijakan pembangunan Cina. Mereka, orang-orang yang berperang dalam kemajuan pembangunan dan mempunyai sumbangan pemikiran yang tidak sedikit, seperti kaum cendekiawan, seniman dan tenaga-tenaga profesional, menjadi korban berikutnya dari aksi kekerasan Mao. Sementara Jiang Qing, Zhang Chung Qiao, Wang Hu Wen dan Yao Wen Yuan (Empat Serangkai) yang berada di belakang Mao, memperbesar jumlah korban yang haerus dibinasakan, dengan memasukan dalam kategori-kategori baru, siapa saja yang masih termasuk musuh, pengkhianat dan para pengikut kapitalis.

Berdasarkan data yang diperoleh, antara 250.000 sampai 500.000 jiwa rakyat tewas selama Revolusi Kebudayaan ini. Sedangkan jutaan rakyat lainya mengalami penderitaan fisik dan psikis akibat dikirim ke kamp-kamp kerja paksa dan diteror, serta dikejar-kejar oleh gerombolan-gerombolan orang yang diatur sebagai ”massa yang marah” dalam berbagai bentuk kampanye mobilisasi, restorasi pemikiran, re-edukasi dan rekonstruksi pribadi sosialis yang baru. Keadaan ini berlangsung selam sepuluh tahun memporak-porandakan seluruh negeri dan menyengsarakan lebih dari 100 juta rakyat Cina.

Pengaruh Revolusi Kebudayaan terhadap perekonomian nasional sangatlah besar. Produksi sektor industri merosot di tahun 1967 dan baru pulih kembali pada tahun 1969, meskipun sektor pertanian hanya mengalami sedikit kerugian. Selama sepuluh tahun kekacauan berlangsung, terjadi kerusakan diri atas kaum muda karena banyak sekolah ditutup. Pada sekolah-sekolah yang masih dibuka, kurikulum sangat disederhanakan dan sistem ujian dihapus, sehingga mutu pendidikan merosot. Akibat adanya pengiriman anak-anak usia sekolah dari kota ke daerah pedesaan untuk bertani, tercatat tidak kurang dari 100 juta anak muda kembali menjadi buta huruf, disamping banyak lowongan kerja yang diisi oleh tenaga-tenaga yang tidak ahli. Korban jiwa, kemunduran pendidikan, kehancuran seni dan peradaban, kebangkrutan pabrik-pabrik, adalah berbagai akibat yang dihasilkan Revolusi Kebudayaan.

Dari segi pemerataan, kebijakan-kebijakan pembangunan Mao, menghasilkan prestasi yang mengagumkan. Dalam hal itu hasil yang diraih Cina lebih baik dibandingkan negara-negara sedang berkembang pada umumnya. Keunggulan tersebut harus diakui, walaupun dari segi kesejahteraan hidup penduduk, kondisi Cina masih jauh dari yang diharapkan.